Gereja-gereja Indonesia Mengusahakan untuk Membantu Korban Gempa

artikel 3

Bunyi sirene ambulans meraung memenuhi udara. Mobil dan motor menjejali jalan tanah yang sempit. Saat pekerja bantuan bencana Kristen Indonesia itu melihat sekeliling, dia melihat tenda-tenda darurat berwarna biru yang di dalamnya berjajar tikar dan selimut. Tenda-tenda itu dipenuhi dengan para korban gempa, termasuk anak-anak dan orang tua.

Namun yang juga dia lihat: Senyum di wajah penduduk desa.

“Masyarakatnya cukup kuat untuk bertahan,” kata Tarigan, yang pada hari Rabu menempuh perjalanan 10 jam dengan mobil dari kampung halamannya di Yogyakarta ke Cianjur, kabupaten di mana desa Gasol berada.

“Kebanyakan dari mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah ini,” katanya. “Untuk saat ini, mereka berpikir bahwa mereka membutuhkan bantuan dari pemerintah dan lembaga [bantuan bencana] lainnya.”

Sementara di Amerika Serikat adalah hal umum bagi gereja untuk terlibat dalam bantuan bencana, di Indonesia sebagian besar bantuan kemanusiaan diberikan oleh lembaga pemerintah, LSM internasional, dan kelompok bantuan Muslim.

Hanya dalam beberapa tahun terakhir gereja-gereja di Indonesia mulai terlibat dalam penanggulangan bencana, kata Effendy Aritonang, direktur Food for the Hungry Indonesia dan sekretaris tim eksekutif Jakomkris, Jaringan Komunitas Kristen untuk Penanggulangan Bencana di Indonesia.

Menghadapi pasca bencana

Saat gempa berskala 5,6 SR terjadi pada Senin pagi, Aritonang, Tarigan, dan anggota Jakomkris lainnya langsung beraksi.

Terdiri dari organisasi nirlaba dan gereja di Indonesia, tim mengadakan rapat koordinasi untuk mulai mengidentifikasi kebutuhan dan mencari tahu siapa yang dapat memberikan bantuan.

Sekelompok jemaat Mennonite bersedia untuk menyediakan air bersih. Sekitar 10 dokter dan 20 perawat dari persekutuan tenaga medis Kristen tiba untuk membantu rumah sakit yang kewalahan merawat para pasien. Sebuah kelompok Presbiterian menyediakan perlengkapan dan layanan kebersihan untuk orang cacat, sementara kelompok Pentakosta menyiapkan dapur darurat untuk mereka yang terkena dampak di lima lokasi berbeda

Bantuan tersebut memang sangat dibutuhkan: Pada hari Rabu, 271 orang—banyak di antaranya adalah anak-anak—telah meninggal dan lebih dari 2.000 orang terluka karena gempa yang meratakan rumah, menghancurkan sekolah, dan menyebabkan tanah longsor. Dengan jalan yang ditutup dan listrik padam, sulit untuk mengalkulasi tingkat kerusakan—terutama di daerah perbukitan Cianjur, yang merupakan rumah bagi 2,5 juta penduduk.

Tarigan mengatakan, tugas utama Jakomkris adalah mendirikan posko yang bisa menjadi pusat komunikasi. Posko tersebut telah didirikan di sebuah gereja lokal, Gereja Kristen Pasundan Cianjur. Selain berfungsi sebagai pusat berbagi informasi bagi lembaga mitra Jakomkris untuk mengirimkan bantuan ke tempat yang paling membutuhkan, posko itu juga akan menjadi lokasi untuk menyimpan sumbangan dan menyalurkan bantuan makanan bagi masyarakat Indonesia yang terkena dampak gempa tersebut.

Jakomkris juga membantu Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, atau PGI dalam memberikan laporan situasi harian bagi gereja-gereja dan lembaga-lembaga Kristen yang memberikan bantuan.

Tarigan mengatakan salah satu bagian tersulit dalam tugasnya di lapangan adalah melihat secara langsung kerusakan parah di banyak rumah akibat gempa.

“Saya percaya gempa bumi lain akan terjadi lagi suatu hari nanti,” katanya. “Dibutuhkan waktu yang lama untuk membangun kembali rumah-rumah dengan struktur yang lebih kuat. Biayanya besar, dan orang-orang tidak punya [cukup dana].”

Menjadi pilar yang kuat

Yang dilakukan Jakomkris saat ini tergolong baru.

Selama ini gereja-gereja di Indonesia secara historis lebih berfokus ke dalam untuk memenuhi kebutuhan rohani orang percaya daripada ke luar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, kata Aritonang.

Pada tahun 2017, tujuh organisasi Kristen berkumpul bersama untuk membahas bagaimana gereja-gereja di Indonesia bisa menjadi “pilar yang kuat” dalam komunitas mereka dalam menghadapi bencana alam yang terus melanda nusantara. (Indonesia yang terdiri dari 17.000 pulau lebih tidaklah asing dengan gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi karena letaknya di Cincin Api Pasifik.)

Pertemuan tersebut mendorong pembentukan Jakomkris, yang mendidik gereja Indonesia tentang perlunya terlibat dalam penanggulangan bencana dan bagaimana memperlengkapi jemaat untuk memberikan respons yang tepat dan berkelanjutan. Jaringan tersebut menghubungkan gereja dan organisasi nirlaba di seluruh negeri sehingga terlepas dari di mana bencana melanda, gereja lokal dapat dengan cepat bertindak.

Kesempatan pertama mereka untuk menanggapi bencana terjadi pada tahun 2018 ketika gempa berkekuatan 7,5 melanda pulau Sulawesi, yang menyebabkan tsunami. Bencana tersebut menewaskan lebih dari 4.000 orang dan melukai lebih dari 10.000 orang. Jakomkris berhasil mengirimkan kelompok-kelompok yang membangun kembali 300 rumah, membangun beberapa gereja, dan menyediakan klinik keliling.

Meski demikian, membuat gereja-gereja bergabung membutuhkan upaya.

Aritonang menemukan bahwa gereja-gereja yang terkena dampak bencana telah menjadi yang paling aktif dalam jaringan tersebut, karena mereka memahami secara langsung pentingnya pelayanan semacam itu.

Misalnya, pada bulan Oktober gempa bumi melanda pulau Sumatera, di mana kantor pusat denominasi Lutheran berada. “Bencana itu dengan cepat membuka mata mereka dan seminggu yang lalu mereka mulai membentuk tim tanggap bencana,” katanya.